Wednesday 24 August 2016

Gerimis sore (part 4)

"Kemana bu?." jawabku, karena aku merasa bosan seharian diam dirumah dengan perasaan yang tidak jela,segera aku memakai kebaya tradisionalku dan mengenakan hijab sederhana, aku mengikuti ibu menuju mobil, kulihat dijok mobil depan tergeletak sebuah kartu undangan yang berukuran sedang berwarna perak, dari situ aku sudah bisa menebak bahwa ibu akan menghadiri undangan tersebut. Mobil melaju melalui jalan Kiaracondong yaitu jalan yang melewati sekolahku, tatpanku tertuju pada jalanan disampingku melalui jendela mobil, terbersit sebuah ingatan yang sebenarnya aku sangat tidak inginkan, aku teringat kembali saat melihat jalan yang sering aku dan Bima lalui waktu aku masih sekolah, aku ingin meledak rasanya setiap mengingat hal itu, seketika juga aku merasakan tetesan air meleleh di pipiku, ku seka air mataku saat menyadari suasana yang menyedihkan itu, aku merubah posisi duduku dan mencoba meredam perasaanku kala itu. Mobil melaju menuju sebuah gedung pertemuan di jalan Soreang, kukira acaranya diadakan digedung tersebut saat kulihat didepan gerbang sudah berdiri 4 orang pria yang mengatur keluar masuknya tamu undangan, kulihat sebuah tiang bertengger dengan janur dan papan tulisan yang bergelantungan ditengahnya terkena angin angin, aku penasaran ingin tahu nama yang tertera dipapan tersebut, saat mobil memasuki area parkir, kulihat janur itu dan membaca jelas nama yang terpampang dipapanya, aku begitu tersentak ketika membacanya, dadaku serasa sesak tak tertahankan, jantungku berdebar penuh emosi, tanganku bergetar sambil berusaha menutup mulutku yang terbuka. "Bimapati dan Lea." begitulah nama yang tertulis dipapan, kututup bibirku menahan tangis yang sudah siap menghujani pipiku, ayah dan ibu turun dari mobil sedangkan aku langsung pergi dengan alasan ke kamar mandi, aku langsung berlari menuju toilet, kutatap cermin yang berada di hadapanku, aku serasa ingin menjerit sekencang-kencangnya, rasanya aku ingin menjatuhkan tubuhku, kuraih tissu yang ada ditasku, ku usap air mataku yang ntah berapa banyaknya, aku menutup kedua wajahku dengan kedua tangan, aku bersandar pada pintu untuk mencari ketenangan, saat ku pejamkan mataku ada bayangan Bima didalamnya, aku tak bisa mengatur nafasku, aku menangis tersedu-sedu sampai pundakku bergetar, ntah berapa lama aku berada diposisi seperti itu, kemudian aku berdiri dan bercermin, mencoba kuat dengan kekuatan seadanya, kulihat bayanganku dicermin dengan mata yang merah dan sembab, tak peduli apa yang akan ibu sangka tentangku nanti, aku merasa hari itu begitu menyakitkan dan menyedihkan, bahkan lebih dari sekedar patah hati, ketakutanku Bima jauh dariku nyatanya memang dia akan berada jauh lebih dari yang ku takutkan, kekhawatiranku tentang dia, nyatanya memang benar terjadi.
Ku seka air mataku untuk kemudian beranjak pergi menuju ruangan terang dan meriah, atapnya yang indah berwarna emas dan hitam, dilengkapi dengan lampu hias yang sebesar mobil menggantung gemerlapan, kulihat pasangan pengantin dikejauhan bersuka cita, sebuah wajah yang sangat familiar di mataku, wajah manis itu kini semakin manis dengan jas putihnya, melihatnya begitu membuatku sakit juga terpaksa bahagia, ku urungkan niatku untuk menghampiri mereka,aku mundur dan kemudian kembali ke mobil, aku menangis sejadi-jadinya sambil menyandarkan kepalaku ke jendela mobil, aku terkenang atas apa yang aku ingat dan yang pernah terjadi, kemudian hilanh berujung menyedihkan, aku sedih atas apa yang telah hilang dan pergi, aku sedih atas apa yang pernah aku nikmati, aku bahagia karena melihatnya bahagia, bukan hal mustahil bagiku bahwa pria semanis dia bisa membuatku luka, kemudian gerimis mengguyur kota Bandung sore itu, teringat lagi Bima, karena gerimis serupa denganmu.

No comments:

Post a Comment